YAT LESSIE ; “MENGKONSERVASI SANG KONSERVATOR , KANG DEDI MULYADI GUBERNUR JABAR PIONEER KONSERVASI”.

MENGKONSERVASI SANG KONSERVATOR, IT’S A MUST
( Sekalian mengenang malam tahun baru 31 desember 1991 )

Saya suka, saya senang …
Saat Kang Dedi Mulyadi, Gubernur Jabar yang baru, periode 2025-2030 membabat habis para pengelola usaha di kawasan Puncak.

Dengan berlabelkan eko-wisata, namun ujungnya salah kaprah, karena terjadi pergantian fungsi lahan. Yang cerita akhirnya sudah kita ketahui bersama, banjir besar melanda kawasan Bekasi, Karawang, Jakarta dan Sukabumi.

Fungsi daerah resapan air, diganti menjadi lahan usaha melalui komersialisasi, dengan mengundang investor.

Tujuannya jelas, yaitu cuan, alias kepentingan jangka pendek, namun merusak seluruh tatanan yg sudah ada selama ini. Yaitu pergantian fungsi lahan dari daerah resapan, menjadi wilayah terbuka untuk di komersialkan.

Kang Dedi Mulyadi, untuk kami jelas-jelas  sebagai seorang PIONEER KONSERVASI, yang tak pandang bulu. Sekalipun digerakan oleh BUMD milik provinsi jabar sendiri, namun jika menyalahi aturan, maka perlu di breidel usahanya.

Karena apalah artinya bergepok-gepok uang hasilnya pada saat ini, yang sangat merugikan jika dipandang dari kepentingan pelestarian alam yang berjangka panjang, jauh sampai ke anak, cucu, buyut kita kedepan.

Menjadi seorang pioneer,
seringkali harus berhadapan dengan kelompok peng-hobi kemapanan. Yang lebih celaka lagi, jika peng hobi ini berada pada badan/lembaga/institusi resmi. Yang dengan otoritasnya, seolah berpihak pada alam, tapi dalam kenyataannya, merekalah yg berada digaris depan perusakan alam itu sendiri. Yang karena sogokan serta fasilias yang diberikan, lalu melacurkan fungsi , peran dan jabatannya.

Sekarang hampir semua orang menonton medsos. Kesimpulannya nyaris sama.

Seorang konservator layaknya Kang Dedi Mulyadi, teramat jarang dijumpai di negeri ini. Para pajabat hanya memberi contoh bagaimana bertindak sebagai seorang safety player. Sedemikian ingin “safe” nya, bahkan seorang pejabat di jakarta, meninjau banjir, dengan memakai perahu karet, dikawal para pasukan, mengenakan pelampung, padahal banjirnya enggak sampai se dengkul. Entah model lawakan apa yg tengah diperankan sang pejabat ini.

Menyadari sulitnya mencari pioneer konsevator sejati, maka yang seharusnya dilakukan, bukan hanya menkonservasi alam, tapi juga harus ada program untuk MENGKONSERVASI SANG KONSERVATOR.

Yes, tanpa adanya jiwa dan semangat konservasi dari para konservator , maka konservasi alam bukan lagi sekedar dongeng bualan dibuku2 pendidikan kita.

Lalu saya teringat pada peristiwa di beberapatahun yang lalu.

Saya dapat pengaduan …..
Seorang teman pembina Sispala di Jawa timur, yang tengah melakukan diklat dasar , “diusir” dari hutan gunung Wilis oleh KPH setempat. Padahal sebelumnya izin sudah didapat. Jadi ijin seolah-olah dibatalkan, karena keliru menanggapi, dikiranya kegiatan diklat sabatas di lokasi kampung sekitar gunung saja. Konon begitu kilah pihak KPH ( Kesatuan Pengelolaan Hutan ).

So … kesimpulannya pendidikan dasar di gunung-hutan itu sudah melanggar aturan pihak KPH, setidaknya di gn Wilis. Begitulah pengaduan teman saya tadi …..

Bagi saya pribadi kebijakan yang teramat aneh. Bahwa salah satu tugas dan peran KPH adalah untuk membatasi open-access pihak yang tak bertanggung jawab pada sebuah kawasan hutan, agar kelestarian hutan terjaga. Secara logika dengan mudah sangat diterima.

Tetapi ketika hal itu “ditabrakan” dengan azas pioneering dari sebuah institusi masyarakat yang berbasis “cinta-alam”, kedengarannya jadi ajaib….

Mari saya beri contoh ….
Ditahun 1991 yang lalu, puncak gunung Burangrang seluas 40 hektar terbakar habis. Kami sabagai pegiat alam terbuka, tentu miris. Berhari hari, pada setiap malam kami melihat warna merah menyala di puncak Burangrang. Kami berfikir tentang akibat yang akan terjadi. Dengan kemiringan lereng mencapai 60 – 70 derajat, sisa abu dan sekaligus humus akan segera tersapu kebawah oleh luncuran air hujan, dan hanya akan menyisakan batuan polos tanpa penutup. Lalu puncak Burangrang yang dikenal tertutup rimbun, akan menjadi puncak telanjang tanpa pepohonan tinggi.

Bulan desember 1991, kami membuat proposal untuk reboisasi / menghijaukan kembali puncak Burangrang, dan kami meminta bantuan untuk disediakan anak-anak pohon untuk ditanam sesegera mungkin, sebelum tanah disana habis tersapu di musim hujan. Permohonan diajukan pada dinas / lembaga terkait. Namun hasilnya berupa pertandingan “ping-pong”. Dua wilayah administratif saling tuding. Kab Bandung dan kab Purwakarta saling melempar tanggung jawab, yang membuat kami hanya mampu terlongong bengong, sementara waktu musim hujan terus bergeser.

Yang jelas kami tak mungkin menunggu, solusi harus segera dibuat, ketimbang jadi penonton dua instansi saling berargumen. Lalu tindakan itu segera dibuat. Tepat diakhir tahun 1991, terkumpul 85 orang dari berbagai organisasi pecinta Alam di Bandung hasil cawe cawe personil. Plus ditambah dengan penduduk disekitar kampung Nyalindung Cisarua berjumlah total sekitar 100 orang. ( Waktu itu belum berdiri FK KBPA BR ).

Ketiadaan bibit pohon,
solusinya adalah dengan mencari dan mengambil anak-anak pohon dari rumpunnya disekitar kaki/punggungan gunung. Memasukannya kedalam polybag, dikumpulkan di base-camp yang berlokasi di tanah mati / legok haji. Sekitar lebih dari 1000 anak pohon berhasil dikumpulkan. Pada hari berikutnya, ditengah kucuran hujan badai seharian, anak anak pohon ini diangkut keatas puncak, dengan melewati track tanah-mati yang curam. Esoknya, anak-anak pohon ini mulai ditanam di lokasi lokasi yang paling kritis, dimana alam akan sulit melalukan recovery dengan cepat jika tanpa bantuan dari tangan manusia.

Tepat pada malam tahun baruan 1991, kami berada di base-camp tanah mati. Pergantian tahun yang diawali dengan tekad, bahwa kami tak akan membiarkan puncak Burangrang berdiri telanjang. Dan fakta menunjukan, saat ini puncak Burangrang tetap rimbun. Burangrang yang dikenal dengan “gigitan” nya, sehingga layak dijadikan kawah candradimuka bagi pasukan komando khusus untuk berlatih disana, dan juga bagi kami, para pecinta alam di Bandung Raya.

100 orang yang berjibaku dalam guyuran hujan badai selama 4 hari 4 malam, adalah para pioneer konservasi. Orang yang enggan jadi penonton , apalagi jadi pembebek yang hanya mampu berdiri bengong, saat dua instansi saling melempar tanggung jawab. Pioneer yang dengan usahanya sendiri, dengan dananya sendiri, dengan tenaganya sendiri, menjadi the frontliners alias orang-orang digaris depan. Semata demi pelestarian alam, bukan untuk sekedar tepuk tangan . Padahal tak ada satupun UU atau PP atau apapun, yang bisa menjadi payung hukum bagi kami…..

Pertanyaan ….
Mengapa kami rela berjibaku semacam itu ?
Bukankah suguhan kembang api jauh lebih meriah, ketimbang suara cengkerik di sela rumput .

Bukankah suguhan acara TV jauh lebih nikmat, ketimbang suara gigilan tubuh di tenda butut.
Bukankah suguhan makanan berlimpah, jauh lebih lezat ketimbang mie instan sekedar pengganjal dinginnya perut.

Jawabannya hanya satu …. Karena kami sama sama pernah melakukan pioneering di Burangrang.
Kami paham Burangrang, kami mendengar lolongan anginnya. Kami melihat denyut badai di punggungnya. Kami merasakan keintiman desah suara malamnya. Kami hiba dengan keakraban rimbun belantaranya. Kami tersedu saat lembahnya terkelupas dalam luka …. Ya karena kami cinta, itu saja.

Pioneering membawa alam realita pada kesadaran, bahwa bumi Pertiwi sangat layak untuk dicintai dan dibela habis-habisan. Pioneering adalah alat, yang membuat keindahan bumi nusantara tidak menjadi sebatas konon belaka. Yang hanya bisa dilihat dilembar kertas, atau terpampang di kayar kaca. Yang hanya membuat penghayatan menjadi kering tanpa jiwa.

Jadi alangkah aneh bin ajaibnya ….
Saat sekelompok anak anak sispala, yang tengah melakukan silaturahim dengan sang ibu Pertiwi. Seraya mendidik dan melatih dirinya untuk menjadi pembela sejati.

Agar bumi nusantara ini tetap lestari …. Lalu dicap melanggar aturan sang pemangku hutan … ?

Padahal , banyak kalangan hanya dengan modal kata “investasi”. Lalu membakar, membumi hanguskan ribuan bahkan jutaan hektar hutan di negeri ini,

namun media massa cukup memberi label “kenakalan” pengusaha dan penguasa. Padahal itu kejahatan yang tak hingga.

Bagi saya pribadi ….
Pioneering bagi anak negeri adalah harga mati.

Jika tidak

Bumi ini hanya akan habis dikonsesi
Oleh pihak yang lebih mengutamakan investasi

Demi duit keleluasaan apapun lantas diberi

Lalu kata lestari menghilang pergi ….
Buat sobat di jawa timur, di kaki gn Wilis
Bahkan dimana saja diseluruh pelosok negeri
Keep fighting please ….

Bagi Kang Dedi Mulyadi…
Sekali lagi, mengkonservasi para konservator
Adalah jalan yang paling bijak
Agar konservasi alam bukan sekedar cerita bualan.

Agar kelak kedepan, ada jaminan bahwa gaya pioneer konservator ala Kang Dedi Mulyadi
Tetap ada penerusnya.

Yat Lessie

Foto ; ist/ net ,Editor ; oleh martika edison siliwanginews.net

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan