SAAT LEADERSHIP HANYA MENJADI PAJANGAN
#ADU KINERJA GUBERNUR VS MENTERI

Oleh Yat Lessie

 

Kita lepaskan dulu
Prasangka, asumsi dan persepsi negatif, serta tetap konsentrasi pada data dan fakta supaya tetap objektif. Still base on reality please.

Yang sedang ramai
Ibu menteri pariwisata,
melihat kawasan puncak bogor selama ini sudah menjadi destinasi wisata umum. Menciptakan keunikan tersendiri,serta sangat menguntungkan bagi para pengusaha eko wisata di wilayah tersebut.

Dengan berkembangnya eko wisata, secara otomatis memicu pertumbuhan ekonomi pada masyarakat setempat, seperti munculnya warung2 dipinggir jalan.

Bapak menteri Dikdasmen,
Tetap memperbolehkan dilaksanakannya study tour bagi para siswa, untuk mengembangkan wawasan berfikir, dengan melihat secara langsung proses proses pembelajaran pada area / sektor yang dituju. Dengan memberi catatan, moda transportasinya harus dijamin kelayakannya, sehingga aman digunakan oleh para siswa.
Saat hal ini dilaporkan ke DPR komisi 10, para anggota legislatif ini juga secara koor mengiyakan, dengan sedikit catatan, bahwa kegiatan ini jangan sampai terlalu memberatkan orang tua siswa, begitu katanya.
Hal yang sama di amin ni, oleh para pelaku kegiatan tour dilapangan, yang mendapat keuntungan secara finansial. Sejak dari pihak event organizer, penyewaan kendaraan, sampai penginapan serta akomodasi lainnya. Dihilangkannya study tour akan mematikan usaha mereka selama ini.

Bapak wakil menteri agama,
Berujar dengan sangat meyakinkan, bahwa pungutan THR oleh ormas ormas tertentu, pada para pengusaha, sudah menjadi budaya selama ini. Sehingga dapat dimaklumi baik oleh masyarakat, para pelaku ekonomi kecil, seperti pedagang di kios / pasar dll. Maupun pengusaha kelas kakap, pemilik pabrik pabrik besar. Semuanya diharap maklum, karena sudah menjadi sebuah tradisi selama ber tahun-tahun.

Gubernur DKI,
Lain lagi kebijakannya tentang pajak kendaraan bermotor. Saat Jabar, jateng dan banten ( the next ) mengambil keputusan memberikan pengampunan pajak dan dendanya, sebagai bagian dari kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Namun DKI bertindak sebaliknya, yaitu mengejar para penunggak sampai ke liang semut kalau perlu. Sebuah kebijakan yang selama ini juga sudah diterapkan, namun tidak mengurangi beban hutang masyarakat kelas bawah, yang hutangnya semakin menumpuk.

Mari kita catat dan teliti bersama,
Bahwa apa apa yang mereka perbuat, sepenuhnya memakai sistem lama. Terlihat mereka menjiplak sistem yang sudah dan sedang berjalan selama ini. Dan amat sangat berbau pandangan sektoral. Sebuah cara pandang kacamata kuda yang sempit ( narrow minded ), dengan variabel-variabel yang juga di standarisasi sejak awal ( fidelity ).

Apa apa yang mereka kerjakan dari kacamata blooms taxonomy, adalah sebatas :
1. Remembering : Baca dan ingat-ingat dengan apa-apa yang dilakukan para perioda pejabat sebelumnya.
2. Undertanding : Pahami mengapa mereka mengambil kebijakan semacam itu. Lengkap dengan variabel penilaian yang sudah di standarisasi.
3. Applying : Lakukan hal yang persis sama, jikapun ada modifikasi, hanya bersifat minor saja dan tidak menyeluruh.

Ketiga proses diatas, kita sebut sebagai metoda Low Order Thinking Skills ( LOTS ). Alias sebuah metoda pembelajaran tingkat rendah, yang hanya pantas diberikan pada siswa didik ditingkat dasar dan menengah.Yang mengandalkan pada metoda hapalan semata. Hapalkan materinya, hapalkan pengertiannya, dan hapalkan cara mengaplikasikannya.
Orang sunda bilang, sebuah motoda “tuturut munding”, alias ikut-ikutan pada apa-apa yang sudah dilakukan sebelumnya. Hal ini sekalgus mencerminkan sebuah sikap mencari aman, dari seorang “safety player”.

Sekarang
Coba kita teliti dengan apa-apa yang dilakukan oleh gubernur Jabar KDM.

Pariwisata di puncak bogor.
Pandangannya tidak semata bergulirnya kegiatan kepariwisataan saja. Variabel dikembangkan pada ranah lingkungan alam. Wisatawan akan datang pada sebuah destinasi eko wisata, jika dan hanya jika lingkungannya tetap terjaga. Ketika lingkungannya rusak seiring dengan menjamurnya pola yang sama, maka wisatawan tidak akan melihat puncak sebagai desitinasi eksklusif. Akibatnya akan ditinggalkan, karena wisatawan akan mencari destinasi lain yang masik murni dan unik.

Sementar itu bangunan yang kadung dibangun akan bertambah usang, seiring dengan biaya pemeliharan tidak terpenuhi, karena pemasukan juga berkurang drastis. Menyisakan bangunan-bangunan tidak terpelihara yang justru mengganggu pemandangan.

Sementara pembangunan yang masif dengan modal besar hanya dipunyai oleh orang-orang kota, sedangkan penduduk setempat hanya kebagian remah remahnya. Keuntungan lari kekota, sedangkan polusi dan bencana mengalir ke kampung disekitarnya.

Jadi wajar jika KDM memutuskan untuk menghentikan jenis pariwsata yang melulu mengandalkan kapitalisasi modal, tanpa penyertaan penduduk setempat. Yang justru merasakan kerugian moril materil saat bencana banjir melanda. KDM melihat pariwisata dipuncak harus dikelola oleh penduduk setempat, dengan mendorong mereka menjadi pengusaha wisata kelas kecil, yang menjual kesederhanaan alamiah selaku brand image nya. Seperti contoh Farmstay menangel di cianjur ( lihat vlog nya ).

Study tour …
Harus kita akui bahwa yang banyak terjadi adalah “tour” alias piknik nya, dan bukan study nya. Sebab jika study, maka jabar adalah salah satu pusat destinasi yang kumplit. Mau industri, pertanian, perikanan, konservasi lingkungan, dan kearifan lokal penduduk buhun, semua ada di Jawa Barat.

Sebut saja mulai pabrik tekstil, garment, telekomunikasi, sampai pabrik bedil, meriam dan tank ada Pindad. Bahkan pabrik pesawat terbang juga di Bandung. Sama halnya dengan kampung naga, atau melangkah lebih jauh sedikit ke kampung baduy di gn Kendeng. Semua ada tak jauh disekitar kita.

Study tour berjarak jauh dengan durasi panjang ( spt ke Bali, Jogya, dll ), sangat membebani orang tua yang penghasilannya pas-pas an. Sehingga tak jarang orang tua terpaksa harus meminjam dari lintah darat. Hanya demi mementingkan sebuah “tour”. Hal ini terbukti ketika KDM di protes dan diboikot oleh para pelaksana tour, yang selama ini ternyata meng eksploitasi siswa dan sekolah demi berputarnya usaha mereka. Sekalipun faktanya sangat membebani ortu siswa. Disamping output dari aspek study nya, dipertanyakan manfaatnya.

Premanisme …
KDM segera membentuk gugus tugas pemberantas premanisme yang menyertakan unsur unsur TNI, Polisi militer dan polisi. Karena sepenuhnya sadar, dengan adanya pungutan paksa dari para preman yang berbaju ormas ini sudah menimbulkan keresahan. Iklim imvestasi akan rusak, ekonomi akan seret pertumbuhannya, keamanan masyarakat akan terganggu. Sehingga langkah KDM yang kontra ungkapan wakil mentari agama yang konon demi tradisi, harus dilakukan.

Pajak kendaraan dan denda …
Gubernur DKI tak sepakat dengan gubenur jabar, jateng dan banten. Malahan keukeuh dengan ungkapan DKI punya aturan sendiri. Tekanan masyarakat agar mencontoh jabar tak didengar, malahan semakin meng intensifkan pengejaran bagi para penunggak yang nota bene kalangan berpenghasilan pas-pasan. Kebijakan yang dianggap kontra produktif, dan bermuara di medsos, dimana para netizen +62 yang dikenal dengan komen2 nya yang sadis.

Karena kebijakan yang diambil bukan bersifat win-win solution, tapi LOST-LOST solution. Warga kecewa pada pemimpinnya, dan pemda kehilangan simpati dari publiknya. Semata karena bersiteguh pada kata “keukeuh” layaknya kaum birokrat feodalis.

Apa apa yang dilakukan KDM diatas, berpegang pada proses-proses, yang merupakan kelanjutan dari metoda LOTS sebelumnya, yaitu :
4. Analyzing : yaitu membagi dan memecah masalah pada bagian bagian terkecilnya kemudian dibuat analisanya secara logis dan terperinci.
5. Evaluating : mengumpulkan kembali analisa2 perbagian tadi, lalu menambah dengan analisa lainnya yang bersifat multi sektoral, sehingga bersifat holistik ( menyerluruh ), sistemik ( utuh-komprehensif ) dan dinamik ( tumbuh sesuai waktu ).
6. Creating : Melakukan terobosan terobosan baru, hasil dari proses kreasi. Sehingga sistem tidak stagnan karena mengandalkan ke “keukeuh” an nya. Sekalipun terobosan baru itu mungkin tidak populer. Tapi seorang pemimpin harus berjiwa “risk-taker” seraya berada digaris depan ( the frontliner ) dengan memberikan contoh-contoh nyata, yang dengan mudah diterima oleh common sense masyarakat kebanyakan.
Point 4,5 ,6 ini adalah metoda pembelajaran di tingkat High Order Thinking Skills ( HOTS ), dimana tujuan akhirnya adalah proses creating. To create, create, create, …. Seraya menciptakan solusi dan terobosan-terobosan baru, demi kemaslahatan ummat.

KDM sudah masuk ke HOTS
Sedangkan para petinggi petinggi lainnya di pusat, masih ber putar putar di LOTS, dengan ungkapan sudah tradisi, sudah kebiasan, sudah lengkap, sudah ini sudah itu, padahal hanya demi menghindari resiko, karena mereka jelas jelas bukan bertipe risk-taker, yang seharusnya paham dengan risk-management..

Sayang memang, saat di pusat pusat kekuasaan
leadership hanya menjadi sekedar pajangan

Sumber ;Yat Lessie fb

Martika Edison siliwanginews.net

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan