Kebebasan Berpendapat: Hak Asasi atau Ancaman Nasional?
Oleh ; Holil Aksan Umarzen
Pendahuluan
Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak asasi manusia yang fundamental dan diakui secara internasional maupun dalam konstitusi negara. Hak ini memungkinkan individu untuk menyampaikan pendapat, kritik, maupun aspirasi demi terciptanya masyarakat yang demokratis, terbuka, dan berkeadilan. Di Indonesia, hak ini diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan dilindungi oleh berbagai instrumen hukum lainnya.
Namun, di balik keberadaannya, muncul pertanyaan kritis: Apakah kebebasan berpendapat tetap menjadi hak asasi yang harus dilindungi, atau justru menjadi ancaman terhadap keutuhan bangsa jika disalahgunakan? Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara hak dan tanggung jawab, serta dampak negatif yang timbul jika kebebasan berpendapat disalahgunakan oleh pihak tertentu, termasuk tokoh-tokoh terkemuka.
Kebebasan Berpendapat Sebagai Hak Asasi Manusia
Hak atas kebebasan berpendapat diakui sebagai hak asasi manusia yang dilindungi oleh hukum internasional melalui International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR (United Nations, 1966; Indonesia, 2005). Pasal 19 ICCPR menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, tetapi hak ini harus dilaksanakan secara bertanggung jawab.
Di Indonesia, Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 menyebutkan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan mengeluarkan pendapat dan berkomunikasi menggunakan media apa saja.”
Selain itu, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa hak ini harus dihormati dan dilindungi oleh negara.
Hak ini memiliki peran penting dalam membangun demokrasi yang sehat, memperkuat pluralisme, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan. Tanpa adanya kebebasan berpendapat, sistem demokrasi akan kehilangan esensinya dan masyarakat menjadi pasif serta tidak mampu menegakkan keadilan.
Risiko dan Dampak Penyalahgunaan Kebebasan Berpendapat
Meski diakui sebagai hak asasi, kebebasan berpendapat harus dilaksanakan secara bertanggung jawab. Sayangnya, praktik penyalahgunaan sering terjadi, dan dampaknya cukup merusak terhadap keutuhan bangsa.
Beberapa risiko utama dari penyalahgunaan tersebut meliputi:
Penyebaran berita palsu dan hoaks** yang menimbulkan keresahan sosial dan merusak kepercayaan terhadap pemerintah. Contohnya, penyebaran berita hoaks selama masa pandemi COVID-19 yang memperkeruh suasana dan memperbesar ketidakpastian publik (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2020).
Ujaran kebencian dan hate speech** yang memecah belah masyarakat berdasarkan SARA (Suku, Agama, Ras, dan Golongan). Ujaran ini berpotensi memicu konflik horizontal dan kekerasan (Komnas HAM, 2018).
Fitnah dan penghinaan** yang menyerang pribadi maupun kelompok tertentu, termasuk tokoh nasional. Contohnya, penyebaran berita tidak benar terhadap mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menuduhnya terlibat kasus tertentu tanpa bukti yang valid, sehingga merusak citra dan stabilitas politik.
Jika penyalahgunaan ini terus dibiarkan, dampaknya akan semakin besar, yaitu kerusuhan, perpecahan bangsa, melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, dan ancaman terhadap keutuhan NKRI.
Bahaya dan Dampak Penyalahgunaan oleh Tokoh Ternama
Lebih jauh lagi, jika penyalahgunaan kebebasan berpendapat dilakukan oleh para tokoh terkemuka, seperti politisi, akademisi, maupun tokoh masyarakat yang berpengaruh, dampaknya bisa jauh lebih besar dan merusak. Beberapa bahaya utama meliputi:
Menurunnya kepercayaan publik terhadap institusi dan sistem demokrasi. Ketika tokoh-tokoh berpengaruh menyebarkan berita palsu, ujaran kebencian, atau kritik yang tidak bertanggung jawab, masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap mereka dan pemerintah, yang berimplikasi negatif terhadap stabilitas nasional (Setiawan, 2019).
Memperbesar polarisasi sosial dan politik, yang dapat memperkeruh suasana dan memicu konflik horizontal, bahkan kekerasan (Kebijakan Nasional, 2020).
Mendorong budaya tidak etis dalam berpendapat, karena tokoh-tokoh yang dihormati tidak memberi contoh baik, norma moral dan etika berpendapat menjadi semakin longgar.
Menghambat proses pembangunan bangsa, karena berita tidak benar dan fitnah mengalihkan perhatian dari isu utama dan memperlambat kemajuan.
Dampak Jangka Panjang
Jika perilaku ini dibiarkan, dampaknya sangat merusak:
Perpecahan sosial dan konflik berkepanjangan**.
Pengurangan kepercayaan masyarakat terhadap elit dan institusi negara**.
Meningkatkan ketegangan antar kelompok masyarakat**, yang berujung kekerasan.
Pengabaian nilai-nilai demokrasi dan norma hukum**, yang berpotensi menyebabkan kekacauan dan ketidakstabilan nasional.
Kesimpulan
Kebebasan berpendapat adalah hak asasi manusia yang harus dilindungi dan dihormati, tetapi penggunaannya harus dilakukan secara bertanggung jawab. Penyalahgunaan oleh tokoh-tokoh terkemuka, termasuk akademisi dan politisi, memiliki dampak yang sangat merusak terhadap keutuhan bangsa dan keberlangsungan negara. Mereka harus menjadi teladan dalam berpendapat dengan etika dan moral yang tinggi, serta menjaga kebenaran demi menjaga persatuan dan keamanan bangsa Indonesia.
Membangun bangsa yang kokoh dan harmonis bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga seluruh elemen masyarakat, terutama tokoh yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan sosial dan politik.
Daftar Pustaka
Indonesia. (2005). Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.
Komnas HAM. (2018). Laporan Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Ujaran Kebencian.
Kementerian Komunikasi dan Informatika. (2020). Laporan Penanganan Hoaks Selama Pandemi COVID-19.
Setiawan, A. (2019). Pengaruh Tokoh Masyarakat terhadap Kepercayaan Publik. Jurnal Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, 12(3), 45-60.
United Nations. (1966). International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR).
Martika Edison siliwanginews.net