WELL SIR, WHAT IS THE MEANING OF
LAUK BURUK NGILU MIJAH ?

Well barudak …
“Lauk buruk” means ikan busuk, “ngilu mijah” means ikut-ikutan aktif bersuara, tentang sesuatu yang tidak dia pahami seutuhnya. Alias orang yang sok tahu bin reseh, akibatnya bikin orang sebel mau muntah.

Peribahasa sunda diatas, sekarang lagi ngetrend di dunia medsos. Simpang siur status, komenan, argumentasi, dll. Yang kalau kita teliti, kok bunyinya enggak pas banget. Banyak lauk buruk, yang memoles dirinya dengan jabatan, dengan pangkat, dengan kedudukan, dengan deretan gelar, yang sebenarnya seringkal hanya aksesori. Tetapi komentarnya, bikin orang keningnya berkerut. Entah karena tidak pas, tidak relevan, tidak up-date. Akibatnya, sudah kita duga, mirip si jaka sembung yang bawa golok, teu nyambung iroooh …

Memicu sejumlah cemoohan di dunia medsos. Apalagi netizen di negara +62 ini, yang dikenal brutal dan barbar. Habis di bully siang malem. Bukan hanya bikin kuping memerah, tapi bikin kepala rasanya mau pecah. Namun wajar saja, jika masyarakat kebanyakan menganggap mereka ini layaknya para ikan busuk, alias the rotten-fish, yang lagi sibuk nyari panggung.

Ketika pemda Jabar mengirim anak2 berkebutuhan khusus di didik di barak militer. Para ikan busuk ini dengan sengaja atau tidak, membuat framing bahwa membangun karakter ini dengan cara militerisasi. Jelas sebuah anggapan yang sangat keliru.

Anggota DPR, DPRD, Komnas Ham, KPAI, suaranya bagaikan koor. Para remaja ini tidak boleh diperlakukan dengan menggunakan KEKERASAN. Karena bisa melanggar HAM, bisa mencederai pertumbuhan mental, serta gangguan psikologis akibat adanya trauma.

Kekhawatiran adanya iklim dan budaya kekerasan, lalu jadi senjata utama. Bahwa kekerasan adalah hantu menakutkan, yang harus di hindari semaksimal mungkin. Sehingga opsi untuk mendidik para remaja spesial ini mestilah … begini, begono, begitu. Begitu konon kata mereka yang sudah mengklaim dirinya sebagai ekspert dibidang pendidikan.

Terserah …
Mau dibilang mereka ini memang kompeten. Terserah pula, apakah mereka punya kapasitas, pengalaman nyata, dan jam terbang di wilayah penanganan hal itu atau tidak.Hanya saja sejak awal, penulis khususnya mempertanyakan tentang satu hal yang paling krusial, yaitu tidak adanya sense of crysis. Akibatnya dengan mudah menyamakan militerisasi dengan militansi.
Sama persis dengan penggunaan argumen kekerasan dalam metoda penyampaiannya.

Dibawah ini sebuah kisah nyata, tentang mengungkap makna kekerasan. Tepat saat penulis diminta menjadi saksi ahli, dalam sebuah sidang pengadilan. Akibat adanya sebuah peristiwa musibah, yaitu terjadinya korban pada saat diklatdas sebuah Mapala di Jawa tengah di tahun 2019 yang lalu.

Selama 5 bulan ……..
masa persidangan dilakukan untuk kasus Mapala UNISI. Bangun logika hukum yang disusun penuntut umum adalah “kekerasan yang mengakibatkan kematian”, dengan mengambil pasal 170 dan 351 KUHP, dengan ancaman masa hukuman 12 dan 7 tahun penjara.

Akibatnya pada setiap saksi yang dihadirkan, akan selalu dimunculkan pertanyaan maut, yaitu “apakah ada kekerasan dalam sistem pendidikan mapala ? ” oleh penuntut umum. Sangat wajar, karena memang logika hukum yang dibangun seperti itu. Yaitu buktikan adanya kekerasan, lalu kaitkan dengan praktek penganiayaan, akibatnya berupa musibah kematian.

Saudara ahli,
apakah dalam sistem pendidikan dasar Mapala terdapat kekerasan ? …. begitu pertanyaan dalam sidang majelis. Kemudian jawaban saya meluncur begitu saja ….
Benar, pendidikan Mapala dipenuhi dengan kekerasan … !!!

Bahkan kekerasan itu dimulai sejak pagi hari, ketika matahari baru terbit diufuk timur … Dalam suasana kegelapan subuh, dalam cuaca masih temaran, atmosfir sudah dipenuhi dengan kekerasan.
Tuan-tuan bangun, bangun, banguuuun … ayo senam pagi, hardikan yang dipenuhi kekerasan verbal bergema. Mari kita push-up sama sama, hitung sama sama, ayo, satu, dua, tiga …. yang keras suaranya !, kurang keras tuan-tuan !, ayo hitung lagi sama sama !!!.

Pada siang hari, dilanjutkan dengan latihan mountaineering. Siswa sebelum melakukan repelling, turun kedasar jurang, saat tepat menggantung dibibir tebing, harus melapor dulu ….
Tuan, silahkan melapor , perintah instruktu, dan siswa melapor ….
Lapooor !!!, Nama anu, no siswa anu, siap untuk turun teRbing…. ada bunyi “R” disana …
Tuan ulangi laporannya, ucapkan dengan kerassss !!!, instruktur semakin melotot, ternyata sudah 3 kali laporannya masih sama, ada sisipan huruf R yang tak perlu, akibat adanya gigilan rasa takut yang berlebihan …. tuan, silahkan naik kembali !
Dan plak, pipinya ditampar !!!, kekerasan fisik terjadi.
Menamparnya begini, lalu saya mempraktekan pada diri sendiri, …. dengan 4 jari, bukan telapak tangan. Pukulkan ke pipi, sekali lagi ke pipi…. bukan ke telinga, atau ke pangkal telinga atau leher.

Mari sama sama kita analisa tentang apa-apa yang terjadi. Sebab kekerasan yang saya sebutkan barusan, menjadi tak bermakna apa-apa, jika tidak ada konteks yang melingkupinya. Hal ini sesuai dengan pandangan pemenang nobel matematika Kurt Godel dalam “Incomplete Theorem” . Bahwa sebuah KONTEN menjadi bermakna jika ada KONTEKS yang melingkupinya. Sebuah sistem menjadi benar, jika ada super sistem yang membenarkannya. …

Oleh karena itu, fakta kekerasan yang saya ungkap barusan, hanyalah akan menjadi bermakna, jika ada konteks yang melingkupinya. Untuk itu kita harus melihatnya dari sudut konteksnya dahulu, sebelum kembali ke konten.

Yang membedakan mapala selaku kegiatan ekstra kurikuler dalam bentuk UKM dengan kegiatan intra kurikuler dalam kelas, adalah dalam hal metodanya. Karena satu satunya metoda yang sahih adalah partisi-patorik, sebuah proses immersion learning, alias “going in to the OBJECT it self”.
Bukan simulasi, bukan realitas dibuat buat. Harimau yang nampak adalah harimau betulan, cape betulan, patah tulang betulan, hipotermia betulan, bahkan mati betulan …. masuk kedalam realitas yang senyata nyatanya.

Object itu adalah alam terbuka, alam liar yang sesungguhnya, bahkan masyarakat. Alam hanya mengenal satu hukum, yaitu hukum KETIDAK-PASTIAN. Semakin kita masuk jauh kedalam alam, maka hukum ketidak pastian itu meningkat. Tak ada satupun yang bisa menghindari hukum ketidak-pastian ini.

Seorang mapala, juga harus menghadapi hukum ini dalam aktifitas nya di alam bebas, dimana bencana dan kematian, bisa mengancam setiap saat. Namun kita patut bersyukur, Tuhan yang Maha Adil, memberi kita petunjuk Sebuah clue dalam menghadapi hukum mematikan itu, yaitu alam bekerja berdasarkan “FRAME-TIME”. Sebuah jeda waktu yang dapat kita gunakan untuk usaha antisipasi. King kobra frame time nya satu jam sebelum kita mati, kobra 2 jam, ular belang 4 jam, ular tanah 8 jam, tidak makan 3 minggu, tak minum 3 hari, menggantung ditebing hanyak fraksi menit, dan satu detik sebelum perahu lebos di arus deras.

Setiap anggota mapala dan pecinta alam, dilatih untuk memahami hal ini. Faktor frame time ini hanya bisa dicermati dengan sikap yang senantiasa TERJAGA dan SIAGA ( Awareness dan allertness ). Hal ini bersesuaian dengan pandangan teori psikologi GESTALT dari Fritz Perl, yaitu psiko-energi ( kesadaran ) akan mengalir, jika seseorang sadar pada kekinian dan kedisinian. Alias senantiasa terjaga dan siaga.

Tuhan pula
yang memberi kita ranah ranah kesadaran. Tetapi untuk tetap terjaga dan siaga, tentunya membutuhkan alat pemicu. Hal itu dibuktikan dengan scientific evidence, dari ranah biology, serta agama. Bahwa PENDENGARAN sudah dibuka, bahkan ketika masih dalam bentuk janin. Sementara dari ranah adat, adanya kebiasaan untuk memperdengarkan ayat-ayat suci didepan ibu yang tengah mengandung, seperti surat maryam surat Lukman. Demikian pula shalat dengan ucapan yang di jahar dan sirr, dsb. Artinya hal ini sesuai dengan pendekatan ilmiah, alamiah maupun illahiah ….

Suara, kegaduhan, membuat orang terjaga dan siaga. Apa bedanya ketika seorang guru yang mendapati murid-muridnya gaduh dikelas, lalu mengetukan penggaris ke meja, seraya membuat bunyi yang berbeda dengan suara gaduh, sehingga murid-murid semuanya sadar, lalu bersiap menghadapi pelajaran berikutnya.

Kami para Pecinta alam menggunakan pendekatan yang sama, namun seringkali orang salah dalam menilai.
Tuan-tuan push up 2 seri ( 20 kali ), hitung sama-sama yang keras !. tu wa ga pat ….
Tuan-tuan lari pagi, sambil nyanyi mars yang sama-sama …. yang keraaaasss !!!
Bahkan “plak !” tempelengan 4 jari di pipi, berbunyi keras ….

Salah menilai,
saat yang dilihat push-up nya, padahal yang terpenting adalah suara keras hitungannya. Salah menilai, saat yang diukur berupa rasa pedas dipipi, padahal substansinya adalah untuk menghasilkan suara keras didekat telinganya. Pusat kesadaran dan kecerdasan inderawi pendengaran, agar mereka bisa tetap siaga dan terjaga, dalam menghadapi frame-time, dimedan yang penuh ketidak pastian. Hal yang membedakan antara selamat dan bencana, antara bugar dan sakit, bahkan antara hidup dan mati. Serta kesiapan dalam menerima hikmah pembelajaran kognitif, dalam sebuah sistem kehidupan bermasyarakat.

Itulah maksud kekerasan versi kami, para pecinta alam. Kekerasan yang dimulai sejak pagi hari, bahkan saat malam memasuki puncaknya. …
Demikian pula ketika selama 40 th saya mengajar karate. Teriakan “kiai”, pada saat melakukan serangan agar ledakan tenaganya ( kime ) bisa terbentuk. Karate dan beladiri lainnya, mengajarkan dengan cara keras, tapi sama sekali bukan kasar apalagi brutal. Karena secara substansial, justru adalah demi perlindungan dan cinta kasih pada sesama.

Itulah sang kongklusi yang saya maksud. Fakta nyata, bukan ilusi. Conclusion by fact and scientific evidende. Bukan Conclusion by ilusion, yang hanya dipenuhi oleh prasangka …

Semua harus tetap berada dalam koridor “dalam konteksnya”, termasuk “kekerasan” itu sendiri. Karena KEKERASAN tanpa konteks yang jelas, hanya akan melahirkan KEKASARAN, KEBRUTALAN, BENCANA DAN KEMATIAN.
Sebaliknya, kekerasan dalam konteks pendidikan, semata untuk melahirkan sikap KETERJAGAAN DAN KESIAGAAN , jusru untuk menyelamatkan sang hidup itu sendiri.

Kekerasan itu sesungguhnya adalah KETEGASAN , hal yang sangat dibutuhkan untuk membangun KARAKTER dan INTEGRITAS DIRI, yaitu mengatakan benar jika memang benar, dan mengatakan salah jika memang salah. Sekalipun untuk itu langit harus runtuh …

Tapi kalau hanya untuk sekedar mencari panggung dan dukungan politik,
maka pepatah sunda itu berlaku …
The Rotten fish, yang mau jadi selebriti dadakan
yang tak bisa membedakan arti KERAS dan KASAR, antara makna TEGAS dan BRUTAL.
Sehingga, Teu nyambung pisan iroooh !!!

Yat Lessie.

Foto- foto ; Ist/ Net

 

 

Gubernur Jabar KDM bersama Martika Edison siliwanginews.net.

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan