Penetapan Idul Adha 2025: Sidang Isbat Digelar 27 Mei, Kemenag Pantau 114 Titik Hilal
Krisna Andika
Setiap tahun, penetapan tanggal Hari Raya Idul Adha menjadi perhatian utama umat Islam di Indonesia. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan sistem kalender yang digunakan: kalender Hijriah yang berbasis lunar (bulan) dan kalender Masehi yang berbasis solar (matahari). Penetapan ini sangat penting untuk memastikan keseragaman pelaksanaan ibadah kurban di seluruh tanah air. Untuk tahun 2025, Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) menjadwalkan pelaksanaan sidang isbat pada Selasa, 27 Mei 2025 pukul 16.00 WIB. Sidang ini akan menentukan awal bulan Zulhijah 1446 Hijriah, yang menjadi dasar penetapan Hari Raya Idul Adha. Berdasarkan Kalender Hijriah 2025 yang telah diterbitkan oleh Kemenag, Hari Raya Idul Adha 1446 H diperkirakan jatuh pada Jumat, 6 Juni 2025. Penetapan ini juga telah dicantumkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 1017 Tahun 2024, Nomor 2 Tahun 2024, dan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2025. Namun demikian, penetapan resmi tetap menunggu hasil dari sidang isbat yang memperhitungkan rukyatul hilal (pengamatan bulan sabit pertama) di berbagai titik pengamatan di Indonesia.
*Idul Adha dan Konteks Budaya Bali*, Hari Raya Idul Adha tidak hanya menjadi momen spiritual dan ibadah bagi umat Muslim, tetapi juga dapat dimaknai secara kultural dalam konteks lokal. Di Bali, misalnya, perayaan ini dapat dikaitkan erat dengan filosofi Tri Hita Karana, yang merupakan konsep penting dalam budaya Bali. Tri Hita Karana mengajarkan tiga hubungan harmonis yang harus dijaga oleh manusia: hubungan dengan Tuhan (parhyangan), hubungan dengan sesama manusia (pawongan), dan hubungan dengan alam (palemahan). Perayaan Idul Adha selaras dengan ketiga aspek tersebut. Melalui ibadah kurban, umat Islam memperkuat hubungan vertikal dengan Tuhan. Sementara itu, daging kurban yang dibagikan kepada sesama mencerminkan kepedulian sosial yang mempererat hubungan antarmanusia. Selain itu, pelaksanaan kurban yang memperhatikan kebersihan dan kelestarian lingkungan juga mencerminkan hubungan harmonis manusia dengan alam.
*Desa Pegayaman: Warisan Islam di Tengah Budaya Bali*, Salah satu contoh nyata harmoni budaya dan agama di Bali adalah Desa Pegayaman yang terletak di Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng. Desa ini merupakan salah satu kampung Muslim tertua di Bali. Secara historis, Desa Pegayaman berdiri di kawasan hutan gayam (Inocarpus edulis), yang dalam bahasa Bali disebut pohon gatep. Nama “Pegayaman” berasal dari pohon tersebut dan makna simbolis dari senjata tradisional keris gayaman, yang menunjukkan asal-usul dan peranan strategis masyarakatnya. Desa ini berawal dari kelompok laskar Blambangan yang merekrut 100 orang laskar tentara muslim yang dibawa oleh Raja Buleleng pada abad ke-16 setelah peperangan dengan kerajaan di Jawa Timur. Para laskar ini kemudian menetap dan membentuk komunitas Muslim yang menjadi bagian penting dari sejarah dan pertahanan kerajaan. Desa Pegayaman memiliki lima dusun atau banjar: Banjar Dinas Barat Jalan, Banjar Dinas Timur Jalan, Banjar Amerta Sari, Banjar Kubu, dan Banjar Kubu Lebah. Pola pemukiman desa ini unik karena berbentuk labirin, yang mencerminkan strategi militer masa lalu untuk mempertahankan wilayah dari serangan musuh. Sampai hari ini, Desa Pegayaman tetap mempertahankan identitas Islamnya di tengah lingkungan mayoritas Hindu, menjadikannya simbol toleransi dan akulturasi budaya yang hidup.
Krisna Andika yang berasal dari desa pegayaman yang saat ini sedang menempuh S2 Kajian Budaya di Universitas Udayana, menyampaikan *Tradisi Lokal: “Ngejot” dan “Pengroah” dalam Perayaan Idul Adha*, Di Desa Pegayaman, perayaan Idul Adha tidak hanya dipenuhi oleh ibadah, tetapi juga disemarakkan oleh tradisi lokal seperti “Ngejot” dan “Pengroah”. Tradisi “Ngejot” adalah tradisi saling berbagi makanan antar umat beragama, yang memperkuat kohesi sosial antar warga Muslim dan Hindu. Sementara “Pengroah” adalah bentuk gotong royong atau kerja bersama dalam masyarakat, yang mencerminkan nilai-nilai solidaritas dan kekeluargaan. Kedua tradisi ini menunjukkan bahwa perayaan Idul Adha di Bali, khususnya di Desa Pegayaman, bukan sekadar ritus keagamaan, tetapi juga perwujudan dari nilai-nilai budaya lokal yang menjunjung tinggi harmoni dan toleransi.
Humas MPB
Martika Edison siliwanginews.net