Tasikmalaya, siliwanginews.net – Penasehat Hukum Medi Hendrawan, Anton Sulthon angkat bicara atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap kliennya. Ia menilai, ada beberapa poin yang menjadikan tuntutan tersebut tidak berimbang.
Seperti diketahui, Medi Hendrawan merupakan salah satu terdakwa kasus korupsi proyek pemeliharaan Jalan Sule Setianegara, Kecamatan Cibeureum, Kota Tasikmalaya.
Kejaksaan Negeri Tasikmalaya telah menahan Medi, yang dalam proyek itu bertindak sebagai ASN Penjabat Pembuat Komitmen (PPK) di Pemkot Tasikmalaya. Ia ditahan bersama empat orang tersangka lainnya berinisial AZ dan R (kontraktor), serta YS dan DF (konsultan pengawas pekerjaan).
Padahal fakta persidangan hanya mengungkap hal-hal yang bersifat administratif. Menurutnya, fakta persidangan secara nyata tidak dapat membuktikan satupun perbuatan pidana terdakwa Medi.
“Publik sekarang sudah cerdas, dan mengharapkan pengungkapan kasus korupsi dapat diterima secara utuh dan menyeluruh, terutama alur penyimpangan anggaran,” ujar Anton.
Ia menegaskan, kliennya dalam perkara ini merupakan kambing hitam. Apalagi setelah melewati serangkaian persidangan, sejumlah tuduhan yang dilayangkan kepada Medi sebenarnya sudah bisa dipatahkan.
Salah satunya terkait dugaan kerugian negara yang mencapai Rp656 juta. Pada bagian ini, kata Anton, terdapat dua hasil audit yang berasal dari BPK dan Auditor Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.
Dalam Laporan hasil pemeriksaan BPK, telah dinyatakan terdapat kurang bayar dengan rincian Rp. 410.678.376,84 dan berdasarkan laporan tersebut, Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya dalam hal ini Dinas PUPR telah melayangkan surat kepada pelaksana pekerjaan untuk melakukan pengembalian kepada Kas Daerah Pemerintah Daerah Kota Tasikmalaya sebesar Rp. 410.678.376,84. Dan akhirnya sudah dibayar lunas.
Kemudian, Kejari Kota Tasikmalaya melakukan permintaan audit kepada auditor Kejati Jawa Barat dan meminta dilakukan perhitungan terhadap proyek Jalan Sule Setianegara, yang mana hasil audit tersebut berbeda dengan hasil audit BPK dan menyatakan terdapat kerugian negara sebesar Rp. 656.314.670. Audit ini didasarkan pada data yang diperoleh dari ahli Polban yang notabene bukan ahli jalan dan tidak memiliki sertifikat.
“Tentunya hasil audit kedua dari kejaksaan menjadi obscure. Audit kedua dari kejaksaan dilakukan setelah adanya penetapan tersangka ditambah lagi ahli yang melakukan audit bukanlah ahli dibidang jalan. Lalu muncul kerugian negara tambahan setelah adanya pelunasan atau pembayaran. Ini jelas rancu dan merugikan klien kami, tegas Anton.
Selanjutnya, Anton menyebut tidak dihadirkannya saksi-saksi maupun ahli dari BPK di persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah sesuatu yang disayangkan. Sebab, hal tersebut adalah awal pokok pangkal persoalan terjadi.
“Sebagaimana kita ketahui BPK adalah lembaga konstitusional yang berhak menghitung dan menentukan kerugian negara. Namun demikian Penuntut Umum malah tidak menghadirkannya di muka persidangan,”
Ia juga mendorong pengungkapan kasus korupsi harus dilakukan menyeluruh sampai ke akarnya, demi kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah, rasa keadilan dan wibawa institusi Penegak Hukum.
Kejanggalan berikutnya adalah “Kasus korupsi sudah barang tentu dilakukan secara sistematis, dan tidak dapat dilakukan hanya oleh satu orang ASN. Jika hanya menangkap dan mengadili jangan hanya kambing hitamnya saja, maka persekongkolan besarnya tak akan terungkap,” tegas Anton. **