DJAMU KERTABUDI ; “KONTESTAN PILKADA HAK WARGA NEGARA”.

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan dan dicalonkan sebagai Gubernur dan Wakilnya, Bupati dan Wakilnya, serta Walikota dan Wakilnya”.

Klausul yang tertera pada pasal 7 UU No. 10 Tahun 2016 Tentang Pilkada inilah yang menjadikan pijakan bagi berbagai elemen bangsa untuk berkiprah dalam kontestasi politik pilkada 2024 ini dengan menerapkan sistem pilkada serentak nasional. Sehingga memberikan peluang seluas-luasnya bagi berbagai kalangan untuk tidak sekedar berperan membangun daerah kelahirannya, akan tetapi terbuka lebar di daerah lain di seluruh wilayah NKRI.

Bahkan dalam persyaratan calon Kepala Daerah lebih bersifat universal, dan tidak ada persyaratan yang bersifat spesifik. Lain halnya dengan peraturan perundangan yang berlaku sebelumnya, masih ada tertera salah satu persyaratan spesifik yaitu “mengenal dan dikenal masyarakat daerah yang bersangkutan” . Sehingga dapat ditafsirkan secara implisit sebagai putra daerah.

Hanya pengertian putra daerah ini bukan yang dimaksud penduduk asli semata, tetapi termasuk masyarakat urban (bukan penduduk asli) yang sudah cukup lama bermukim atau pernah bermukim di daerah tersebut.
Oleh karenanya keleluasaan warga negara sebagai kontestan pilkada ini lebih diperkuat pula oleh ketentuan lain yang menyebutkan larangan dalam materi kampanye mengandung unsur SARA yaitu suku, agama, ras, dan antar golongan.

Maka dari itu, sebagai konsekwensi dari ketentuan ini, berbagai kalangan dari manapun mereka berasal, wabil khusus dari kalangan pesohor, dengan rasa percaya diri menawarkan dirinya kepada partai politik tingkat pusat (DPP) untuk menjadi kandidat Kepala Daerah, meskipun di daerah yang belum pernah disinggahinya.

Dengan modal popularitas dan modal finansialnya sebagai data tarik tersendiri bagi parpol untuk kemungkinan merekrutnya.

Namun demikian, meskipun penentuan calon merupakan hak dan wewenang Parpol, akan tetapi patut dicernati dan di antisipasi dinamika politik yang berkembang di daerah, artinya masih ada daerah-daerah yang masyarakatnya menganut kultur politik identitas, dan cukup rawan manakala parpol memaksakan kehendaknya.

Namun bagi daerah diwilayah perkotaan kultur politik identitas ini sudah mulai lentur. Lain halnya bagi daerah yang masyarakatnya lebih banyak termasuk strata sosial transisional, nilai kearifan lokal masih dipandang suatu hal penting, yang tidak boleh di abaikan begitu saja.

Bagaimana dengan Bandung Barat menjelang pilkada 2024 ini ?. Suatu hal yang diluar dugaan, ternyata menjelang “injuri time” banyak peminat dari kalangan pesohior yang menawarkan diri melalui parpol di tingkat pusat untuk menjadi kandidat Bupati dan Wakil Bupati.

Penulis memandang perlu menggunakan istilah “menawarkan diri” dan bukan mendaftarkan diri, karena mereka tidak melalui mekanisme pendaftaran semestinya secara berjenjang. Sehingga menjadi hal yang lumrah muncul reaksi publik, seperti beberapa komunitas dan tokoh masyarakat di media memberikan pernyataan yang bernada prihatin dan penolakan terhadap proses pencalonan di intern parpol yang cenderung menggadang-gadang bakal calon dari kaum pesohor yang belum pernah mengenal KBB.

Bila ada anggapan reaksi publik semacam ini bisa di abaikan bahkan dinilai sebagai isapan jempol belaka, hal ini akan mengundang permasalahan tersendiri kedepannya.

Mengingat mereka bersikap seperti itu sebagai akumulasi keprihatinan terhadap kondisi KBB yang masih jauh dari ekspektasi masyarakat, bahkan berkali-kali terjadi nasib buruk menimpa Bupatinya.

Akhirnya, waktu sudah memasuki “kejar tayang”. Memacu parpol segera menentukan pilihannya siapa pasangan calon yang di usung masing-masing koalisi partai. Biarkan mayarakat yang menilai, baik paslon yang di usung, maupun partai pengusungnya.

Wallohu A’lam

(djamukertabudi P4 KBB)

 

Di salin oleh;/ foto : ist / net ;

martika edison siliwanginews.net

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan