Penulis ;

DR (C) RUDI NOVRIANTO, S.H., M.H

Advokat & Konsultan Hukum Kantor Hukum ARV & Partner

 

REKONSTRUKSI HUKUM PIDANA DALAM PENYELESAIAN KASUS KEBOCORAN DATA PRIBADI

Perkembangan teknologi saat ini atau disebut juga era digital membuat segala akses menuju dunia luar semakin mudah.

Namun, di samping kemudahan itu pasti terdapat kekurangan atau bahkan sisi negatif. Di era yang serba digitalisasi ini membuat segala akses membutuhkan kelengkapan data pribadi guna mendapatkan layanan atau akses pada suatu fasilitas digital tertentu.

Dengan para pengguna menyerahkan atau memberikan data pribadi mereka pada sebuah platform membuat banyak pihak yang tidak bertanggungjawab menyalahgunakan bahkan mencuri data-data tersebut.

Kebocoran data pribadi tersebut menjadi salah satu ancaman serius di era digital ini baik dari pihak penyedia layanan maupun penggunanya.

Bila sudah terjadi insiden kebocoran data pribadi ini, maka pihak yang dirugikan bukan hanya individu sebagai pemilik data, tetapi juga menimbulkan kerugian besar bagi perusahaan dan institusi pemerintah.

Di Indonesia sendiri, maraknya kasus kebocoran data pribadi menunjukkan urgensi pembaharuan sistem hukum yang mampu mengakomodasi tantangan tersebut.

Salah satunya rekonstruksi hukum pidana yang menjadi langkah strategis untuk memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap keamanan pribadi. Kebocoran data pribadi kerap terjadi akibat lemahnya pengamanan digital dan kurang tegasnya penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan siber. Data pribadi seperti identitas, informasi keuangan, hingga informasi keluarga sering kali diperjual-belikan di pasar gelap.

Kondisi ini menimbulkan dampak negatif seperti pencurian identitas, penipuan online, hingga kergian finansial bagi para korbannya. Untuk menanggulangi permasalahan tersebut, di Indonesia telah disahkan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP) pada tahun 2022.

Selain untuk menaggulangi, disahkannya undang-undang tersebut untuk penegakkan hukum, juga untuk perlindungan data pribadi warga negara.

Namun, dalam pengimplementasiannya masih terdapat tantangan. Oleh karena itu, diperlukannya sebuah rekonstruksi hukum pidana agar regulasi yang ada lebih relevan dengan kebutuhan pada era saat ini.

Salah satu elemen penting dalam rekonstruksi hukum pidana ini adalah pemberat sanksi bagi pelaku kebocoran data pribadi. Sanksi pidana berupa hukuman penjara dan denda yang besar dapat menimbulkan efek jera.

Berkaitan dengan regulasi yang sudah ada seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) perlu adanya sinkronisasi dengan perkembangan teknologi saat ini yang meliputi peraturan tentang kejahatan siber, termasuk penggunaan teknologi canggih untuk melacak dan menangkap pelaku kejahatan data. UU PDP ini juga perlu diperkuat dengan aturan teknis yang jelas agar mudah untuk diterapkan.

Tingginya kompleksitas kasus siber yang ada, perlu adanya pembentukan pengadilan khusus untuk menangani perkara ini.

Pengadilan atau peradilan siber ini dapat mempercepat proses hukum dan memastikan kasus-kasus kebocoran data diselesaikan dengan tepat.

Rekonstruksi hukum juga harus memperhatikan aspek keadilan bagi korban. Pelaku kejahatan siber dapat diwajibkan untuk membayar ganti rugi yang ditimbulkan. Dalam hal ini, diperlukan penegakan hukum yang efektif antara lembaga penegakan hukum, institusi pemerintah, penyedia layanan digital, serta pihak lain yang saling berkaitan.

Kolaborasi ini memungkinkan untuk pencegahan dan penindakan tindak pidana siber secara komprehensif. Di samping penegakan hukum, pemerintah pun perlu meningkatkan literasi digital masyarakat tentang pentingnya menjaga data pribadi dan cara menghindari ancaman siber dapat mengurangi risiko kebocoran data pribadi di masa yang akan datang.

Rekonstruksi hukum pidana tidak hanya bertujuan untuk menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga menciptakan lingkungan atau ekosistem digital yang berkredibilitas atau terpercaya bagi warga negara.

Dengan adanya regulasi yang kuat, mekanisme penegakan hukum yang efisien, dan tingkat kesadaran masyarakat yang tinggi, kebocoran data pribadi dapat diminimalisir.

Selain itu, langkah ini juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap penggunaan teknologi digital di berbagi sektor.

Dengan adanya rekonstruksi hukum pidana di era digital ini merupakan sebuah investasi krusial untuk melindungi privasi dan hak asasi manusia di era digital.

Regulasi yang kuat, implementasi yang efektif, dan kolaborasi yang solid, Indonesia dapat menghadapi tantangan kejahatan siber dengan lebih baik.

Penulis ;

DR (C) RUDI NOVRIANTO, S.H., M.H

Advokat & Konsultan Hukum Kantor Hukum ARV & Partner

 

 

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan