PECINTA ALAM MENCETAK KADER PEMIMPIN ATAU POLITIKUS ?
#hiji_oge_maung
Sebuah pilihan …
Yang harus kita cermati bersama, kalau tidak ingin menyesal seumur hidup. Seorang pemimpin paham dengan situasi politik, namun seorang politikus belum tentu mampu menjadi pemimpin. Buktinya bisa kita lihat bersama sehabis pemilu dan pilkada kemaren. Mana pemimpin daerah yang benar2 menunjukan jiwa kepemimpinannya ( leadership ), atau hanya bertindak layaknya tikus tikus politik, layaknya para begundal partai.
Yang paling gampang membedakan diantara keduanya adalah, pemimpin akan selalu bicara tentang THE NEXT GENERATION , sedang politikus disibukan dengan THE NEXT ELECTION. Seorang pemimpin sejati akan resah gelisah dengan nasib generasi2 penerus bangsa ini dimasa yang akan datang. Sedang politikus sibuk dengan keterpilihannya pada pemilu mendatang. Dengan kata lain keresahan jika tak bisa melanggengkan kekuasaannya.
Seorang pemimpin bicara dengan tujuan yang jelas, hasil kontemplasi yang dirumuskannya melalui sebuah urutan proses, untuk membentuk VISI MISSI Rencana strategis Program kerja. Semua tahap proses dilakukan dengan jelas dan terukur, sehingga mampu di implementasikan dilapangan secara cepat, tepat, akurat, konseptual dan kontekstual. Tujuannya jelas yaitu manfaat yang sebesar besarnya bagi masyarakat dalam kurun waktu yang panjang.
Seorang politikus beda. Visi, missi dan rencana strategisnya sudah ditentukan oleh partai pengusungnya, sehingga politikus cenderung hanya menjalankan program saja. Akibatnya gaya berfikirna menjadi sempit dan teknis. Cenderung demi kepentingan sekelompok orang, yang mereka bidik sebagai bekal elektoralnya dimasa pemilu kelak.
Seorang pemimpin bekerja dengan mendahulukan PASSION ( gairah ). Hal yang akan membawanya pada kepuasan batiniah, ketika nilai2 substansial yang dibawanya bisa diadopsi oleh masyarakat disekelilingnya. Sementara seorang politikus bekerja atas perintah dan arahan dari sang ketua. Bak robot yang disetel hanya untuk memenangkan kursi di pemilihan selanjutnya. Kepemimpinan yang diharapkan oleh masyarakat pemilihnya, bisa dikalahkan oleh kepentingan partai yang mengusungnya. Sehingga bisa mengakibatkan pelacuran atas nilai2 yang seharusnya dibawa saat dia menjadi pemimpin.
Seorang pemimpin mesedekahkan dirinya menjadi seorang petugas rakyat. Sehingga dia selalu mempunyai kewajiban untuk mendatangi rakyat dan mendengarkan keluh kesah mereka. Sedang seorang politikus, enggan menemui masyarakat, enggan mendengar keluh kesah mereka, dan mencari wilayah aman, yaitu bekerja hanya dibelakang meja saja, menjadi safety player seraya menjauhi segala resiko yg mungkin timbul.
Fokus seorang pemimpin adalah pada tujuan ( purposes ) dan proses untuk mencapai tujuannya tadi. Sedang politikus fokus pada mengumbar janji-janji palsu. Yang dia sendiri tahu, bahwa janji itu ada diatas awan.
Celakanya …
Nyaris semua aspek hidup dan kehidupan di negeri konoha ini adalah untuk menciptakan politikus. Bukan mengembangkan basis LEADERSHIP yang muaranya adalah STATEMANSHIP, atau menciptakan NEGARAWAN.
Bahkan sistem pendidikan yang kita jalankan selama ini, tujuan akhirnya seringkali hanya untuk meraih kekayaan, kekuasaan, kewenangan, kedudukan, jabatan, dll., yang miskin dengan visi kedepan. Yang melihat hidup hanya untuk hari ini saja. Yang tergagap saat ditanya tentang nasib generasi mendatang, karena tujuannya hanya untuk hari ini, dan pemilu mendatang, titik.
Sistem pendidikan hanya untuk berburu pengetahuan, semata karena idiom bahwa “Knowledge is power”. Padahal kalimatnya harus diteruskan dengan … “but character is more”.
Bahwa mempunyai pengetahuan itu baik, tapi jauh lebih baik lagi jika muara dari pengetahuan itu adalah pembentukan karakter diri. Layaknya mengkristal menjadi aspek etika, adab dan ahlak.
Saya menangis …
pada saat demo kemarin, seorang ketua BEM dari sebuah universitas, melalui pengeras suara dengan lantang mengatakan bahwa presiden negeri ini adalah se ekor anj#ng. Sebelumnya seorang tokoh pendidik yang konon cerdas pandai , mengatakan bahwa presiden ke 8 negeri ini adalah “baj#ngan tolol”. Padahal dia dipilih oleh mayoritas bangsa ini. Jadi pas sudah, guru kencing berdiri, mudir kencing berlari. Sebuah kausalitas sebab-akibat.
Ketinggian ilmu dari dosen mahasiswanya, ternyata tidak mengkristal menjadi etika dan ahlak. Sungguh mencemaskan, sungguh memalukan. Demokrasi dijadikan tameng hanya untuk sekedar bisa memaki dan mencaci siapapun lawan politiknya. Sistem pendidikan kita mengarahkan generasi bangsa ini untuk menjadi seorang politikus. Sekalipun baru kelas kambing congek. Sekalipun anda dibalut dengan jaket almamater anda yang berwarna meriah.
Tapi saya tetap optimis …
Karena saya, kami, kita juga punya siswa, punya mahasiswa, punya guru dan dosen. Merekalah kelompok Mapala, Sispala dan PA Umum.
Mereka kami ajari dengan fokus pada KESEDERHANAAN. Apa adanya saja, hidup tak usah dibuat buat dengan segala aksesories yg tak perlu. Semua ilmu pengetahuan diajarkan di kelas2 tanpa dinding, di alam terbuka ( class without wall ), Sedang karakter di ajarkan dengan metoda immersion learning, atau nyebur pada realitas yang sesungguhnya. Bukan hanya melalui buku-buku panduan belaka. Bukan hanya eksperimental learning, tapi juga ekspidensial learning.
Sedangkan satu satunya ajaran politik yang kami berikan adalah keberpihakan yang jelas dan tegas pada kepentingan SANG IBU PERTIWI, Tak ada yang lainnya. Sisanya adalah pelajaran tentang Leadership.
Kami tak begitu peduli partai mana yang akan menang dalam pemilu. Karena kami lebih peduli pada the next generation. Tentang pewarisan nilai-nilai apakah yang akan diturunkan pada angkatan2 berikutnya.
Bahwa bangsa dan generasi kedepan butuh alam yang terjaga dengan baik. Karena kami beranggapan alam yang terjaga, akan memberikan dampak kesejahteraan bagi masyarakat secara keseluruhan. Tidak saja untuk hari ini, namun juga dimasa depan. Seperti kata pepatah sunda , mun leuweung hejo, rakyatna pasti bisa ngejo.
Program program yang kami susun, hanyalah turunan dari adanya tujuan kolektif, yang dijabarkan dalam bentuk visi, missi, renstra, program, yang kami eksekusi sendiri. Tanpa butuh biaya dari APBD, APBN, yang kami solusi dengan donasi dari kalangan sendiri.
Tak seorang pun dari kami bekerja dan berkegiatan dengan dibayar. Tak ada tujuan sampingan ingin terpilih mendapatkan kedudukan penting . Semua kami jalankan dengan IKLAS, semata mata karena adanya passion, atau kepuasan batin yang tak bisa dibayar dengan uang berapapun.
Saat bencana menimpa …
Semua tegak berdiri, menyingsingkan lengan baju. Pemimpin dipilih, yang lainnya sukarela menjadi anak buah yang siap diperintah. Karena jiwa kepemimpinan sudah dilatih sejak awal. Karena mereka tidak pernah dilatih untuk menjadi politikus yang punya kepentingan diluar aspek kemanusiaan.
Kamipun punya bahasa sarkas , seperti …
Yat Lazy, Endang kadal, Ricky Kanzut, Memet jeding, anong jebew, agen baret, dll., julukan2 yang nampak sarkas dan tidak beradab, alias sebuah NAMA RIMBA. Lalu apa bedanya dengan caci maki ketua BEM pada presiden RI yang dikatakan anj#ng.
Jelas beda, amat sangat berbeda …
Saat nama Lazy ( Lessie ) disematkan pada saya, hal dihubungkan dengan sebuah kejadian dimasa lalu. Ketika saya paling males kalau kebagian tugas jadi kopur, alias masak untuk team saat diklatdas Jana Buana di tahun 1971 yg lalu. Jadi kata “lazy” bukan sebuah hinaan atau pelecehan, melainkan sebuah pengakuan, atas sebuah kejadian pada sebuah titik dalam ruang, serta pada sebuah momen waktu, dimana eksistensi saya ditegaskan keberadaannya.
Nama-nama rimba tadi, adalah sebuah PENGAKUAN yang dihubungkan dengan eksistensi yang diakui kebaradaannya secara kolektif dalam komunitas. Akibatnya nama rimba menjadi faktor perekat, karena bukan hinaan,bukan celaan, bukan pelecehan, namun sebuah pengakuan. Karena penilaian akhir dikembalikan pada manfaat apa yang kita berikan pada masyarakat disekitar kita.
Ditengah sistem pendidikan di negeri konoha yang carut marut, yang ujungnya hanya mendidik menjadi tikus tikus politik.
Namun segelintir kecil para pecinta alam dinegeri ini, tetap mengajarkan tentang leadership, yang dengan konsisten tetap berfokus pada WHAT NEXT …
Our next generation
Our next kehidupan sosial dan berbangsa
Our next pelestarian lingkungan hidup
Our next penjagaan nilai dan kearifan budaya lokal.
Our next tokoh-tokoh negarawan muda
Kami sadar, bahwa kami hanyalah segelintir kecil saja
Namun kami percaya, bahwa negeri ini hanya butuh
auman seekor singa
Ketimbang embikan seribu domba.
Yat Lessie
disalin oleh; martika edison siliwanginews.net